Rabu, 27 Juli 2016

Melipat Jarak - Sepilihan Sajak

Lok: Tugu Nol Kilometer
Kota Semarang

Judul: Melipat Jarak - Sepilihan Sajak
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Genre: Kumpulan Puisi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (2015)
ISBN: 9786020319124
Jumlah Halaman: 188 halaman



Lihat sinopsis


SAJAK-SAJAK KECIL TENTANG CINTA

/1/
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat

/2/
mencintai cakrawala
harus menebas jarak

/3/
mencintai-Mu
harus menjelma aku


Melipat Jarak berisi 75 sajak yang dipilih dari buku-buku puisi karya Sapardi Djoko Damono yang terbit antara 1998- 2015 yakni Arloji, Ayat-ayat Api, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Mata Jendela, Kolam, Namaku Sita, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita, dan Babad Batu.




Melipat Jarak

/1/
jarak antara kota kelahiran
dan tempatnya tinggal sekarang
dilipatnya dalam salah satu sudut
yang senantiasa berubah posisi
dalam benaknya

/2/
jarak itu pun melengkung
seperti tanda tanya

/3/
buru-memburu dengan jawabannya


(Melipat Jarak - Melipat Jarak h. 130)



Puisi-puisi di sini, saya tangkap sangat beragam temanya. Dari yang sedikit politis dan feminis semacam Dongeng Marsinah, usia senja yang diulik bagus di Sebelum Fajar, ketaqwaan dalam puisi Tentang Tuhan dan beberapa puisi panjang lainnya, serta kondisi sosial budaya secara umum, favku: Tiga Percakapan Telepon.

Puisi cinta tentu saja banyak di sini. Bunga Randu Alas meninggalkan kesan sendu dalam hatiku, demikian pula Sajak Tafsir. Bulu Burung kurasakan sama sentimentilnya seperti puisi Hujan Bulan Juni di buku sebelumnya. Sedangkan Kenangan dan Melipat Jarak mengingatkan pada masa kecil yang jauh lebih sederhana.

Ada pula satu puisi yang rada mbeling, Malin Kundang. Puisi ini bercerita tentang si Malin yang kesulitan menepati kutuknya, karena sedang terserang batuk. =)
Segar, dan tak terduga, terselip dalam puisi-puisi yang bernada lebih serius di buku ini.

Dalam salah satu kesempatan mendengarkan ceramah beliau, Bapak SDD pernah mengatakan bahwa apapun yang kita baca dapat mewujud ulang dalam tulisan-tulisan kita. Di sini ada beberapa puisi yang menjabarkan contoh-contoh nyatanya. The Rest is Silence (Hamlet-Shakespeare), Memilih Jalan (: Robert Frost), Sayap Penghujan (: Rendra) dan bahkan Old Friends (dari lagu Old Friends - Simon & Garfunkel). Apik mengingatkan pada yang dituju, tetapi tetap memiliki ciri SDD yang kental.

Lalu ada pula Sita, nukilan dari drama-puisi Namaku Sita, yang menurutku bagus sekali menangkap tepat kekesalan hati Sita (Sinta) dari melodrama Rama-Sinta. Aku memang selalu berpikir Sita akan kesal dan marah - dan bukannya nrimo saja - saat Rama meragukan kesetiaannya di akhir kisah ini, dan cuplikan Sita ini passsss sekali menggambarkannya.

Akhir membaca, aku puas sekali menikmati sepilihan sajak dalam buku ini. Berbagai perasaan yang tertinggal, kritik sosial yang jleb, kisah cinta yang mendayu atau pun ajakan untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya, semuanya berpadu dalam jalinan kata-kata memikat.


Pintu

Pagi dikaruniai begitu banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja.
Malam diberkahi begitu banyak gerbang dan kita digoda untuk membukanya dan keluar agar bisa ke Sana
Tidak diperlukan ketukan.
Tidak diperlukan kunci.
:
Sungguh, tidak diperlukan selamat datang atau selamat tinggal.


(Pintu - Melipat Jarak h.110)




https://www.goodreads.com/review/show/1692406446

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget