Kamis, 15 Mei 2014

Teka-teki Terakhir


Judul: Teka-teki Terakhir
Pengarang:  Annisa Ihsani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014)
ISBN: 978-602-03-0298-0
Jumlah Halaman: 256 halaman
Penerbitan Perdana: 2014





"Kuharap kau tidak terlalu terganggu atas nilai latihan aljabar konyol itu. Mendapat nol tidak terlalu buruk, terutama setelah begitu lama pencariannya".

NOL. 
Pernahkah kamu dapat nilai nol saat ulangan atau ujian? Laura Wellman, seorang siswi sekolah menengah kelas 1 (atau kelas VII sekarang ya?) baru saja mendapatkan nilai bundar ini di kuis matematikanya. Saking kesalnya, kertas jawaban kuis ini diremas-remas dan dibuang di depan rumah pasangan Maxwell, suami istri yang digosipkan sebagai pasangan ilmuwan gila. Keesokan harinya Laura mendapatkan kembali kertas jawaban ini, sudah dikoreksi oleh Mr. Maxwell, beserta hadiah sebuah buku berjudul Nol: Asal-usul dan Perjalanannya. Inilah awal perkenalan Laura dengan pasangan ini dan bagaimana perkenalan ini, dan matematika, mempengaruhi hidup Laura selanjutnya.



Waktu membaca blurb novel ini pertama kali, aku sempat bertanya-tanya, ini novel asli Indonesia atau novel terjemahan. Nama-nama karakter yang digunakan, nama lokasi, ilustrasi covernya, semuanya berbau novel terjemahan. Apalagi tema ceritanya. Maaf, bukan maksudku mencela novel teenlit dalam negeri, tapi novel bertema matematika yang kental? Jangankan yang novel asli, novel terjemahan saja tampaknya akan sulit menjaring pembaca, apalagi segmen pembaca teenlit. Tapi ini, nama pengarangnya kok sangat Indonesia. Oke, jadi hanya berbekal kepercayaan bahwa penerbit yang ini tidak akan menerbitkan buku tak layak dan kekepoan akan "novel teenlit bertema matematika" maka aku pun mulai berkenalan dengan novel ini. Perkenalan yang tidak sia-sia. Perkenalan yang meyakinkanku untuk memberinya 4 bintang.

Meskipun berangkat dari sebuah tema klise bahwa pelajaran matematika tidak harus jadi momok yang menakutkan, novel ini juga menyajikan banyak hal lainnya, dari masalah remaja yang kesepian dan tak punya teman, masalah sekolah yang memusingkan, kekecewaan dalam persahabatan, cinta pertama yang selesai sebelum dimulai, sampai masalah dewasa yang amat sangat mengecewakan saat kita alami, yaitu tentang ambisi yang tak kesampaian, masa muda dan gairah keingintahuan yang makin lama makin menghilang seiring usia. Semuanya diramu dengan bagus sekali, sehingga baik pembaca dewasa maupun pembaca muda dapat melihat sesuatu yang menjangkarkan mereka pada kisah ini. Semua itu, tentu saja dibangun dengan menyelipkan banyak sekali teka-teki matematis yang memusingkan, namun mengasah logika dan tetap terasa fun

Waterfall by Maurits Cornelis Escher (1961)
Aku suka sekali saat Prof. Maxwell membahas logika paradoks bersama Laura, alih-alih menggunakan kata "suku kreta" atau "varian" atau apapun yang berbau "teorema" yang membuat matematika tampak rumit dan susah, dia menggunakan kata yang membangkitkan rasa ingin tahun gadis remaja, Ksatria dan Bajingan. Lalu saat ia menjelaskan tentang bilangan irasional, Prof. Maxwell juga menceritakan kisah tentang Ordo Pythagoras yang menegangkan. Belum lagi kisah-kisah tentang para matematikawan dan matematikawati sepanjang jaman dan penemuan-penemuan mereka. Dan tentu saja kisah tentang pelukis matematis yang fenomenal dengan segitiga tak mungkinnya, M. C. Escher (lukisan air terjunnya jadi favoritku sepanjang waktu, dan waktu pertama melihatnya, butuh waktu sangat lama untuk aku memahami logikanya ;p ). Semuanya dijabarkan dalam novel ini tanpa kesan menggurui, tidak ada kesan bahwa pengarangnya sedang memamerkan otak encernya pada para pembaca yang berotak teflon. 
#eh #bedabukubedapengarangooiy #abaikan


Kisah apik ini kemudian diakhiri dengan sangat apik juga. Sangat realistis dan tidak dipaksakan untuk happy ending. Sebuah kenyataan bahwa hidup terus berjalan, kadang kita mendapatkan apa yang kita mau, kadang juga tidak. Sebagaimana pasangan Maxwell mengajarkan Laura berbagai hal tentang matematika dan kehidupan, Laura juga mengingatkan keduanya akan masa muda dan harapan, impian dan hal-hal yang mulai mereka lupakan. Persahabatan beda generasi yang terasa manis, kenangan indah yang akan dibawa Laura sampai waktu yang sangat lama.


Sekali lagi akan kukatakan, aku suka sekali membaca novel ini dan langsung memasukkannya ke rak favoritku. Pengarangnya, Annisa Ihsani, belum banyak yang kutahu tentangnya, tapi yang pasti aku tak ragu jadi penggemar setianya. Salut untuk GPU yang telah menerbitkan sesuatu di luar jalur mainstream novel remaja. Tentang kualitas cetakan, penerbit ini tentu tak diragukan lagi. Typo bersih. Covernya lutju, imut-imuts, pink lagi. Menyenangkan. Pas banget buat isinya. Luv it!  


Untuk angka Nol sendiri, angka ini memang istimewa. Meskipun mungkin bukan buku ini yang dibaca Laura saat pertama kali berkenalan dengan Prof. Maxwell, tapi aku pernah membaca Zero: The Biography of a Dangerous Idea karya Charles Seife yang sama-sama membahas asal-usul dan perkembangan ide angka nol ini, dan aku sama seperti Laura, benar-benar terpukau dengannya. Review-ku di sini.




2 komentar:

  1. penasaran.. sepertinya seru ya ^^

    BalasHapus
  2. seru, bagus dan amat sangat menarik, yuuuk dibaca :) #berasaspg

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget